Saya berasal dari Tasikmalaya dan sudah 2 tahun menempuh kuliah di
Jakarta. Di sini aku tinggal di sebuah rumah kost yang dihuni banyak
mahasiswa perantauan sepertiku. Kisah ini bermula ketika aku sedang
berbelanja ke sebuah mall di Jakarta. Aku tidak sendirian, tapi bersama 2
gadis teman kostku, mereka adalah Diana dan Sinta. Keduanya cantik dan
sama-sama warga keturunan sepertiku. Diana adalah seniorku semester
akhir, sama-sama jurusan manajemen denganku, sifatnya pendiam, banyak
yang mengatakan dia judes karena jarang tersenyum, karena sifat
tertutupnya inilah temannya cuma sedikit, tapi kalau sudah akrab
ternyata orangnya baik dan menyenangkan. Dia sering membantuku dalam
tugas-tugas kuliah. Hubungan kami seperti kakak adik, orangnya putih
cantik, tinggi, rambut panjang, wajah oval dan bodinya ideal, kalau
dilihat-lihat mirip dengan Vivian Hsu, sedangkan Sinta seangkatan
denganku tapi dari fakultas psikologi, pacarnya adalah salah satu
temanku yang sedang belajar di luar negeri, sifatnya periang dan
humoris, kadang-kadang suka bercanda kelewatan, tingginya skitar 160 cm,
bodinya langsing, berambut lurus sebahu, wajahnya putih licin dengan
hidung mancung, dia dan aku termasuk beberapa dari segelintir orang yang
dekat dengan Diana.
Malam itu langit sudah gelap kira-kira jam 19:00, kami sudah selesai
berbelanja dan sedang menuju tempat parkir bertingkat. Tempat itu sudah
sepi dan gelap karena aku kebetulan parkir di tingkat agak atas jadi
jarang ada kendaraan. Suasana di sana cukup menyeramkan hanya diterangi
lampu remang-remang. Tiba-tiba kami dikejutkan oleh 2 orang preman
berpenampilan sangar yang menghadang jalan kami.
"Hei babi, tunggu dulu kalo mau lewat serahin dulu duit yang kalian punya, ayo!" kata yang kurus gondrong itu.
"Wah gile bawa cewek juga nih dia, cakep-cakep lagi, eh cewek mau main
sama kita nggak!" timpal temannya yang berambut cepak. Aku segera
bergerak menepis tangan si cepak ketika hendak mengelus pipi Diana yang
tampak ketakutan.
"Hei, hei.. kalau mau duit gua ada tapi jangan macam-macan sama temanku!" bentakku padanya.
Rupanya mereka tidak terima dan si gondrong mengeluarkan pisau lipatnya
dan menyerang ke arahku, aku menghindar dan menangkap pergelangan
tangannya, kupuntir dengan jurus aikido yang kupelajari sejak SMA, "Ci
Diana, Sinta, cepat masuk ke mobil dan lari, jangan tunggu gua!" seruku
pada mereka seraya memberi kunci mobil pada Diana, mereka segera masuk
ke mobil dan kudengar mesin sudah dinyalakan tapi bukannya lari malah
menungguku.
"Heh bangsat, mau jadi jagoan loe, ayo kita hajar dia dulu Wan baru kita
kerjain cewek-ceweknya," kata yang gondrong pada temannya. Si cepak
menerjang ke arahku tapi kutendang perutnya sampai terhuyung-huyung ke
belakang.
"Ayo masih berani maju?" tantangku dengan memasang kuda-kuda. Yang cepak
itu masih belum kapok, dia mengeluarkan pisaunya dan mencoba menusukku,
kami sempat terlibat pertarungan seperti dalam film-film action.
Tanganku sempat tersabet pisau dan membuat luka gores sepanjang
kira-kira 10 cm, namun aku berhasil merebut pisau si gondrong dan
kupatahkan pergelangan tangannya, sementara yang cepak terkena tinjuku
pada mulutnya sehingga terlihat darah pada bibirnya.
Sebenarnya aku mulai kewalahan tapi aku mencoba tetap tenang dengan
menggertak mereka dengan pisau yang kurebut sambil berdoa dalam hati,
kami terdiam sesaat lalu mereka perlahan-lahan mundur, membalikkan badan
dan kabur entah kemana, akhirnya berguna juga ilmu bela diri yang
kupelajari selama ini. Aku segera masuk mobil, kusuruh Diana segera
tancap gas, dengan wajah masih tampak tegang dia segera menjalankan
mobil dan keluar dari situ.
Sinta berkata padaku, "Ihh tangan kamu berdarah tuh, kamu nggak
apa-apa?". Sinta membantu mengobati lukaku dengan peralatan P3K di
mobilku.
"Leo, kamu nggak apa-apa, kita ke rumah sakit ya," sambung Diana.
"Ah nggak usah kok cuma luka gores aja, nggak sampai kena tulang lagi,
tinggal diobatin dan diperban sendiri aja, kalian tenang sajalah,
harusnya gua yang terima kasih pada kalian, kalian sudah gua suruh kabur
dulu tapi malahan nungguin, kalau gua kalah tadi gimana coba!"
"Leo, kamu masih anggap Cici ini temanmu nggak sih, kamu pikir kita tega
ninggalin kamu sendirian kayak gitu!" kata Diana dengan ketus dan
menatap tajam ke arahku.
"Udah Ci, lagi nyetir jangan marah-marah, Leo kan tadi kuatir
keselamatan kita juga, uuhh.. kamu sih asal omong!" Sinta mencoba
menenangkan sambil menyikut dadaku, aku diam saja daripada ribut sama
cewek, bukannya takut tapi bikin pusing apalagi mendengar omelan Sinta
kalau lagi bawel.
Sesampainya di kost, aku menyuruh mereka istirahat saja supaya tenang,
aku sendiri segera masuk kamar. Kira-kira jam 9 malam, aku sedang
membaca tabloid Bola, pintuku diketuk, ternyata yang datang Diana dan
Sinta yang sudah memakai pakaian tidur.
"Loh, ngapain kalian berdua ke sini malam-malam begini?" tanyaku.
"Kita cuma mau berterima kasih barusan itu, kamu tadi hebat banget deh
Le, mirip Jet Lee aja aksinya," puji Sinta dengan tersenyum.
"Boleh kami masuk, ngobrol-ngobrol sebentar?" tanya Diana.
Akhirnya kupersilakan mereka masuk juga mumpung belum ada yang lihat.
"Gimana lukamu Le, sori banget ya demi kita kamu jadi gini, kalo nggak
ada kamu nggak tau deh gimana nasib kami," kata Sinta sambil memegangi
lenganku yang sudah diperban.
"Ah luka kecil, nggak lama juga sembuh kok, kalian tenang deh."
"Le, kamu hebat deh tadi, makannya kita ke sini rencananya mau membalas budi nih, kami ada hadiah kecil buat kamu," sahut Diana.
"Oh, nggak usah Ci, kita kan temen kok pake hadiah-hadiahan segala."
"Eee, harus diterima lho kalo nggak gua nggak mau omong sama kamu lagi nih!" sambung Sinta setengah memaksa.
"Ya, iya deh, aku terima aja biar kalian puas, makasih loh."
"Tapi loe tutup mata yah, soalnya ini surprise loh," katanya lagi.
"Wah, apa sih pake rahasia segala, ya udah deh, gua merem nih," kataku.
Aku bersandar di ranjang sambil memejamkan mata, kudengar suara tirai
ditutup dan Diana berkata, "Awas jangan ngintip ya, ntar batal loh
hadiahnya!" disambung dengan suara Sinta ketawa cekikikan.
Akhirnya aku merasakan salah seorang duduk di sampingku dan meraih tanganku.
"Sudah siap?" ternyata suara Diana.
"Sudah, boleh buka mata belum Ci?"
"Tunggu bentar lagi." jawabnya.
Tanganku disentuh & diusapkan pada suatu benda kenyal olehnya.
Betapa kagetnya aku ketika meraba benda itu ternyata adalah payudara
wanita. Segera kubuka mata dan benar saja, Diana duduk di samping kiriku
tanpa sehelai benangpun dan menumpangkan tanganku di payudaranya,
sementara Sinta yang juga sudah polos mematikan lampu kamar dan
menyalakan lampu meja sehingga suasana menjadi remang-remang.
"Nah kalo gini kan jadi romantis suasananya." katanya.
Benar-benar kaget bercampur terangsang aku saat itu, aku baru pertama
kalinya melihat mereka polos. Tubuh Diana ternyata benar-benar aduhai,
perut rata, paha jenjang yang mulus, bulu kemaluan yang rapi dan lebat,
dan payudaranya lumayan besar dan kencang, benar-benar mirip dengan
Vivian Hsu yang sering kulihat gambar-gambar bugilnya. Tubuh Sinta tidak
kalah menarik walaupun payudaranya tidak sebesar Diana, mungkin hanya
34 dengan puting merah muda dengan bulu kemaluan yang lebat pula.
"Loh, kok.. kok begini sih, terima kasihnya kelewatan deh kayaknya,"
kataku sedikit gagap dan jantungku berdebar kencang karena aku belum
pernah main dengan perempuan lain selain pacarku sendiri.
"Tidak Le, kamu memang pantas menerimanya, jadi hutang budi ini impas,"
jawab Diana lalu dia membuka ikat rambutnya sehingga rambut panjangnya
tergerai bebas sedada.
"Wah, Ci liat, mukanya merah tuh, dia malu sama kita kali," kata Sinta sambil tertawa.
"Nggak usah malu Le, kita kan temen dekat bukan orang lain," kata Diana
seraya membelai pipiku dan mencium bibirku. Imanku langsung runtuh
karena perlakuan mereka, begitu bibirnya menempel di bibirku segera
kusambut dengan tarian lidahku di mulutnya, lidah kami saling beradu
dengan penuh nafsu, tanganku sudah mulai memijat-mijat buah dadanya dan
mulai turun meraba-raba paha mulusnya naik lagi ke kemaluannya dan
kuberikan sentuhan halus pada klistorisnya.
Diana yang biasanya pendiam dan lemah lembut itu, malam itu begitu liar
& penuh nafsu jauh dari yang sehari-hari. Sinta tidak tinggal diam,
dia memelorotkan celana trainingku dan CD-ku sehingga barangku yang
sudah tegang menyembul keluar. "Wah besar juga nih, pantes si Vivi betah
sama lu Le," godanya. Dijilatinya senjataku dengan penuh nafsu, lalu
dimasukkan ke mulutnya dan diemut-emut seperti seperti permen lolipop.
Sementara ciumanku pada Diana sudah mulai turun ke dagunya, lalu ke
leher. Kusibakkan rambut panjangnya ke samping kiri lalu kujilat-jilat
leher kanannya, kugigit pelan sambil menyapunya dengan lidahku. Nafas
Diana sudah mulai kacau matanya terpejam sambil mendesah dan
meremas-remas rambutku, aku sendiri merasakan sensasi hebat pada
batanganku yang sedang dikulum Sinta, baru pertama kalinya kurasakan
kenikmatan bercinta dengan dua wanita.
Tanganku mulai naik dari kemaluannya menuju dadanya dan lidahku turun
menuju sasaran yang sama, akhirnya kutangkap dada kanannya dengan
tanganku dan dada kirinya dengan mulutku, disaat yang sama juga tangan
kiriku mengelus-elus pantatnya yang indah itu. Puting yang ranum itu
kusedot dan kutarik-tarik dengan mulutku dan dada kanannya kuremas-remas
sambil memencet putingnya.
Setelah beberapa saat kurasakan barangku mau meledak karena kuluman Sinta.
"Sin, Sin udah stop dulu.. gua udah nggak tahan nih!" kataku terbata-bata.
Akhirnya dia menghentikan kegiatannya dan berkata, "Lu gitu ah, masa
mainnya sama Ci Diana terus, kamu nggak suka Sinta ya, ntar gua bilangin
loh ke Ko Hendy (pacar Diana) biar digebuk hehehe.."
"Sori dong Sin, abis kan tadi Ci Diana yang mulai dulu, jadi dia yang duluan dapet."
"Ya udah, biar adil kita undi saja siapa yang lebih dulu melayani Leo,
gimana Sin?" Diana memberi usul. Mereka berdua suit dan yang menang
adalah Diana.
"Yah, Sinta kalah, ya udah Cici duluan deh, jahat ah!" kata Sinta mencibir pada Diana.
"Tenang Sin kamu juga ntar kebagian kok, Leo kan kuat, ya nggak," kata
Diana sambil melirik padaku. Kini Diana berbaring terlentang di ranjang
dan Sinta duduk di tepi ranjang menunggu. Kuciumi sekujur tubuhnya mulai
dari bibir dan sesampainya di kemaluan, kuangkat kedua kakinya ke
bahuku sampai tubuhnya setengah terangkat lalu kudekatkan wajahku ke
pangkal pahanya. Bulu-bulu lebat itu kusibakkan dengan jariku dan
kujilati belahan di tengahnya. Lidahku bermain-main dengan ganas di
daerah itu membuat tubuh Diana mengelinjang-gelinjang disertai
suara-suara rintihannya. Tidak kuhiraukan lagi bahwa gadis ini
sebenarnya adalah seniorku dan kuanggap kakak angkatku yang harusnya
kuhormati, yang terpikir saat itu hanyalah nafsu dan nafsu yang makin
membara.
Mendadak kurasakan sebuah tangan dengan jari-jarinya yang lembut
menggenggam batang kemaluanku yang nganggur. Pemilik tangan lembut itu
adalah Sinta yang tidak tahan hanya menjadi penonton. Dikocoknya batang
kejantananku lalu dimasukkan ke mulutnya dan diemut-emut, sementara
lidahku terus bekerja di liang kewanitaan Diana, tanganku membuka bibir
kemaluan yang rapat itu sampai kulihat tonjolan kecil di tengahnya, dan
kumasukkan lidahku lebih dalam lagi agar bisa menjilat benda itu.
Rintihan Diana makin menjadi-jadi sambil meremas-remas sprei dan Sinta
berpindah menciumi payudara Diana.
Sesaat kemudian kedua paha Diana mulai menjepit kepalaku, badannya
tertekuk ke atas. "Oh, Leo.. akhhh.. ah!" Erangan itu diiringi
menyemburnya cairan hangat berwarna bening membasahi mulutku, setelah
itu kuturunkan badannya dan Sinta membantuku menjilati cairan yang masih
tersisa di kemaluan Diana sampai bersih, tubuh Diana mulai melemas
kembali.
"Leo, kamu waktu main sama Vivi juga seperti ini ya, permainanmu bagus sekali," puji Diana padaku.
"Ah biasa aja kok Ci," sahutku sambil memiringkan tubuhnya dan kuarahkan
batangku ke lubang yang sudah basah itu. Sedikit demi sedikit batang
itu mulai tertancap di lubang itu diikuti desisan Diana sampai akhirnya
dengan susah payah akhirnya mentok juga batangku di kemaluannya yang
sempit itu. Setelah itu aku mulai memacu badanku maju mundur sambil
meremas-remas payudaraya dan Sinta menjulurkan lidahnya untuk beradu
dengan lidahku. Sungguh nikmat sekali rasanya menikmati pijatan-pijatan
dinding liang kewanitaan Diana sambil memijat payudaranya dan bermain
lidah dengan Sinta, sekali-sekali Sinta juga menjilati leher dan
telingaku. Benar-benar aku merasakan diriku bagaikan seorang kaisar yang
sedang dilayani selir-selirku saat itu.
Beberapa saat kemudian aku merasa mau keluar dan berkata, "Ci, mau keluar sebentar lagi nih."
"Siram di mulut.. ohh.. ahhh.. di mulut Cici!" katanya lirih.
Akhirnya kami klimaks bersama dan kusuruh dia membuka mulut untuk
menyemprot spermaku. Cairan putih kental membanjiri mulutnya sampai
menetes di sekitar bibirnya, Sinta pun ikut menjilati spermaku yang
masih berlepotan di batangku. Diana sekarang tergolek lemas dengan
sisa-sisa sperma masih membekas di bibir, dagu, dan lehernya, sesudah
mengatur nafas dia tersenyum padaku dan berkata, "Bisa-bisa besok pagi
Cici nggak bisa kuliah gara-gara kecapean nih," jarang-jarang dia
tersenyum begitu, padahal wajahnya semakin manis kalau lagi senyum.
"Sama Ci, saya juga gitu mungkin, sekarang Cici istirahat aja dulu deh,
Sinta udah nggak sabar nih," jawabku sambil merengkuh tubuh Sinta dalam
pelukanku.
"Sin, biarin Cici istirahat di ranjang dulu ya, kita mainnya di tempat lain dulu, oke.."
"Ya terserah kamu deh, asal jangan di luar kamar, kan malu," katanya sambil memencet hidungku dengan nakal.
"Ya, iyalah masa di luar sih, dasar cewek sableng," kataku sambil membantunya berdiri.
Kami berdiri berhadapan saling peluk tanpa mengenakan selembar
benangpun, kutatap wajah dan matanya dalam-dalam, semakin dilihat
semakin cantik. Kurapatkan dia ke tembok, kukecup keningnya merambat ke
telinganya dimana aku berbisik, "Sin, kamu pernah melakukan ini pada
siapa saja?"
"Baru loe, Andry, dan bekas pacar gua di SMA, loe sendiri gimana Le, gua ini cewek keberapa yang luperlakukan begini?"
Aku terdiam sesaat lalu kujawab, "Selain Vivi dan Ci Diana mungkin kamu yang ketiga dan terakhir bagiku Sin."
"Kenapa loe bilang aku yang terakhir Le?"
"Ya, karena aku sudah berdosa pada Vivi, aku tidak mau menambahnya lagi."
"Hihihi, ternyata masih ada juga pria lugu seperti kamu Le."
Lalu dia berkata di dekat telingaku, "Jadi loe belum bisa membedakan
antara seks dan cinta," habis menyelesaikan kata-kata dia langsung
mengulum telingaku dan kubalas dengan meraba punggung mulus dan
pantatnya.
Kami saling raba bagian-bagian sensitif selama beberapa saat dan kini
kuangkat kaki kanannya masih dalam posisi berdiri dengan bersandar di
tembok. Pelan-pelan kumasukkan batang kemaluanku ke liang yang sudah
becek itu, benar-benar sempit milik Sinta ini, lebih sempit dari Diana
sehingga dia meringis kesakitan sambil mempererat cengkramannya di
pundakku saat kumasukkan batangku.
"Aduhh.. ahhh.. pelan-pelan Le, sakit.. ahh..!" Sedikit demi sedikit batangku sudah masuk setengahnya.
Kuhentikan gerakanku sejenak sambil berkata, "Sin, kamu siap?"
"Siap apaan sih.. aawww…sakittt!" jeritnya. Sebab saat dia bilang 'sih'
kuhujamkan sekuat tenaga sisa batangku yang belum masuk sampai mentok
dan kurasakan kepala batang kejantananku menghantam dasar kemaluannya
dengan kuat sehingga tubuhnya tersentak dan matanya membelakak kaget,
telapak tanganku sudah kusiapkan di belakang kepalanya agar ketika
terkejut kepalanya tidak membentur tembok.
"Jahat loe, bikin kaget gua aja," tanpa banyak bicara lagi kugerakkan
pantatku maju mundur membuatnya mengerang-erang setiap kusentakkan
tubuhku ke depan. Dadaku saling bergesekan dengan dadanya. Sambil terus
menggenjot kuciumi terus bibirnya sehingga erangannya tertahan, yang
terdengar hanya suara, "Emmhhh.. emmhh.. emhmm.."
Beberapa saat kemudian tubuhnya kurasakan seperti menggigil dan dia
mempererat pelukannya, demikian juga aku makin erat memeluknya sampai
kurasakan hangat pada batang kejantananku disusul keluarnya cairan
bening dari liang senggama Sinta, cairan itu mengalir deras dari
sumbernya terus turun ke pahanya dan sampai ke ujung kakinya.
Perlahan-lahan gerakanku melemah dan akhirnya berhenti, kuturunkan
kakinya dan kulepaskan batangku yang masih menancap di kemaluannya.
Tubuh Sinta yang sudah basah kuyup oleh keringat melemas kembali dan
merosot sampai terduduk di lantai, keringat di punggungnya membasahi
tembok di belakangnya. Kuambil tisu lalu kubersihkan cairan kenikmatan
yang mengalir membasahi tungkainya.
Kami berdua terdiam sesaat memulihkan tenaga kami yang terkuras. Setelah
kurasa segar kembali kuperhatikan dia yang masih terduduk lemas di
lantai dengan kaki kiri ditekuk, mataku terpaku mengagumi keindahan
tubuhnya membuat gairahku bangkit kembali. "Ngapain sih loe, serem amat
melototin gua kaya gitu," katanya sambil menyilangkan kedua tangan
menutupi dadanya. Tanpa menjawabnya kutarik lengannya lalu kubuat
posisinya berdiri membelakangiku dengan kedua tangannya bertumpu di
pinggir meja belajarku. "Aduh.. tunggu dulu Le, gua masih capek, loe
jahat ih!"
Dengan segera kubasahi batang kejantananku dengan ludah lalu kumasukkan
ke lubang pantatnya dengan paksa dan kuhentakkan biasa saja tapi dia
malah menjerit histeris, "Awww.. sakit, toloongg!" Jeritannya ini sempat
membuatku kaget juga karena kencang sekali, aku takut sampai mengundang
perhatian tetangga sebelahku, untungnya lokasi kamarku ini agak di
ujung namun jeritannya tadi cukup luar biasa. Aku melepaskan sebentar
tusukanku dan mengintip dari jendela apakah ada yang datang ke sini,
lega aku melihat koridor masih sepi tanpa suara dan kamar sebelahku juga
sudah gelap, kurasa dia sudah terlelap.
Kudekati Sinta masih tetap dalam posisinya. "Aduh Sin, itu suara tolong
dikecilin dong volumenya, gawat nih kalo ada yang tau, pake tolong
segala lagi, bisa-bisa dikira ada pembunuhan."
Dasar cewek bandel, dia malah sambil tertawa berkata, "Lucu tampang kamu
lagi panik Le, masa kamu lupa si Ferry tetangga sebelah loe kan lagi
pulang makanya gua kagetin loe, ini balasan waktu tadi ngagetin gua
(ketika posisi berdiri), jadi kita seri hihihi!"
"Ooo jadi loe sengaja ya, awas loe ayo sini tunggu ya balasan gua ntar!"
kataku menghampirinya. Dia malah berkelit sambil berlari kecil.
"Wek, sini tangkep kalo bisa," ejeknya dengan menjulurkan lidah.
"Cewek bandel, awas kalo kena ya!"
"Lho kalian lagi ngapain, kok kayak anak kecil aja sih, dari tadi ribut terus," kata Diana yang sudah bangun.
"Ini Ci, gua lagi kasih pelajaran buat si bandel nih."
Akhirnya kutangkap setelah dia terdesak di lemari pakaianku di sudut
ruangan, kupeluk dia dari belakang, "Nah ketangkep loe sekarang, mau ke
mana lagi."
"Hihihi Leo ampun ah, jangan kasar-kasar!" dia masih tertawa-tawa ketika
itu, lalu aku membuat posisinya seperti tadi lagi, kini kedua tangannya
yang bertumpu pada lemari.
"Sekarang tau rasa nih balesan gua!" kataku dengan senyum penuh kemenangan.
Kutuntun batang kejantananku memasuki lubang pantatnya yang sempit,
sedikit demi sedikit akhirnya amblas seluruhnya. Waktu kumasukkan suara
tawanya perlahan-lahan berubah menjadi suara rintihan, senyumnya sirna
berganti menjadi ekspresi kesakitan, "Hi.. hi.. hi.. Leo udah ah,
lepasin ah.. ahhhh.. jangan.. ahhh.. sakit..!" Mendengar rintihan tak
karuan itu nafsuku semakin bangkit, pinggulku segera bergerak maju
mundur dengan ganas. Dasar sifatnya bawel, waktu bertempurpun dia masih
sempat berceloteh sambil merintih, "Akhh.. kamu.. sadis.. ah.. ntar gua
mau.. ohhh.. lapor.. aakhh.. sama.. sama Vivi.. ahhh!"
Pinggulnya ikut berpacu menyelaraskan dengan gerakanku, yang paling enak
adalah saat sentakan kita saling berlawanan arah sehingga menambah
tenaga tusukanku agar menancap lebih dalam, bila sudah begitu selalu
histeris tapi tidak sehisteris waktu mengagetkanku tadi. Payudaranya
juga ikut berayun-ayun kesana kemari, kedua putingnya kutangkap dengan
jariku, kupuntir, kutarik, dan kupencet tanpa menyentuh dadanya, aku
sengaja berbuat begitu agar dia penasaran dan memohon padaku. Benar saja
perkiraanku setelah beberapa lama kumainkan putingnya tanpa menyentuh
dadanya dia mulai memohon.
"Le.. ahh.. kamu kok.. ooohh.. cuma mainin.. aahhh putingnya.. remas dadaku Le.. please!"
"Hehehe.. gua kan udah janji mau ngebales loe tadi, tunggu aja sampai
saatnya nanti Sin, hehehe," jawabku sambil tetap menggenjot lalu tangan
kiriku menjambak rambutnya hingga kepalanya menengadah ke atas.
"Aaawww.. kamu.. kamu.. ahhh.. jahat.. kasar.. awas ya nanti!" Puas
hatiku menyiksa si bandel ini hingga tak berkutik memohon-mohon padaku.
Menurutku bercinta dengannya lebih enak daripada Diana yang agak pasif,
Sinta cukup pintar mengimbangi gerakan-gerakanku, staminanya pun lebih
baik sedangkan Diana belum apa-apa sudah takluk, maklum Sinta ini
orangnya rajin fitness.
"Uaah.. mau keluar Sin!" jeritku ketika mau mencapai puncak.
"Gua juga.. aaahh.. ayo perdalam lagi.. ouchhh!"
"Uahhh..." begitu spermaku muncrat aku langsung berteriak dan meremas
kedua buah dada Sinta dengan keras disusul pula oleh jeritannya.
"Aaakkhhh sakiitt.. eeenakk..!" Tanpa melepas batang kejantananku
,kepalaku menyelinap ke balik ketiak kirinya, sasaranku adalah puting
susu yang ranum itu. Mulutku menangkap benda itu lalu kusedot dengan
gemas sementara tanganku masih meremas buah dadanya. Kubalikkan tubuhnya
hingga kami saling berdiri berhadapan. "Sin, kamu nggak menyesal
melakukannya padaku?" tanyaku, dia hanya menggeleng dengan nafas yang
masih memburu, tubuhnya licin mengkilap karena berkeringat. "Le gua
capek berdiri terus, bantu gua ke ranjang dong," pintanya. Maka
kugendong dia ke ranjang dengan kedua tanganku sambil bercumbu mesra,
kubaringkan dia di sebelah Diana yang sudah bangun, lalu aku duduk di
tepi ranjang karena ranjangku tidak cukup berbaring 3 orang.
"Wuiiih main sama Sinta ribut banget, sori ya ngebangunin Cici nih," kataku pada Diana.
"Eee.. loe yang sadis kok masih nyalahin gua, awas ya!" kata Sinta sambil menangkap kemaluanku dan menggenggamnya erat.
"Idiih.. idihh.. gitu ya, lepasin Sin malu tuh diliatin Ci Diana!"
"Minta ampun dulu, kalo nggak kagak bakalan gua lepas nih!"
"Iya, sori.. sori deh yang mulia putri, sekarang lepas dong!" gila
bukannya dilepas malahan dijilatinya batang kejantananku yang masih ada
sisa-sisa sperma dan cairannya itu.
"Kalian kok berantem melulu sih, lucu ah!" kata Diana lalu dia mendekati
kami dan ikut menjilati batang kejantananku. Aku jadi merem melek
keenakan menikmati permainan mulut mereka sambil mengelus-elus rambut
indah Diana. Aku lalu menyandarkan badanku di ujung ranjang agar lebih
nyaman, kedua gadis cantik ini kini berada di depanku sedang
mempermainkan kemaluanku. Jilatan demi jilatan, emutan demi emutan
membuatku menyemburkan kembali maniku namun kali ini sudah tidak banyak
lagi yang keluar akibat terkuras pada ronde-ronde sebelumnya. Dengan
rakusnya mereka berebutan melahap cairan putih itu sampai habis bersih,
pada bibir-bibir mungil itu masih terlihat percikan spermaku.
Mereka lalu menyuruhku telentang di ranjang, aku tidak tahu mereka mau
apa lagi tapi kuturuti saja. Diana lalu naik ke atas kemaluanku dan
memasukkan batang itu hingga terbenam dalam kemaluannya, kemudian dia
mulai bergoyang-goyang naik turun seperti naik kuda. Sinta naik ke atas
wajahku berhadapan dengan Diana dan menyuruhku agar menjilati
kemaluannya. Sambil kuelus-elus pantat yang mulus itu, lidahku
menjelajahi liang kemaluannya, gerakan lidahku bervariasi dari
berputar-putar membuat lingkaran, mempermainkan klitorisnya, menggigit
lembut klistorisnya, menusukkan jari tengahku sampai mendorong-dorongkan
lidahku ke liang itu.
Tanganku bargantian memijati kedua payudara Sinta dan mengelus paha
serta pantatnya, suatu ketika kuraba payudaranya, tanganku juga bertemu
tangan Diana di situ, jadi masing-masing payudara Sinta dipijati 2
tangan. Suara desahan mereka berdua memenuhi kamarku, terkadang suara
itu berubah menjadi, "Emhhh.. emhhh.. emhh!" sepertinya itu suara mereka
berdua sedang berciuman sehingga desahannya terhambat, aku tidak tahu
persis karena waktu itu pandanganku tertutup tubuh Sinta.
Goyangan pinggul Sinta bertambah dahsyat ditambah lagi jepitan pahanya
terkadang mengencang membuatku agak kewalahan mengatasinya, sementara
Diana yang tidak kalah gilanya makin mempercepat gerakannya sehingga
terasa sedikit sakit pada buah pelirku akibat tindihannya. Aku pun tak
mau kalah, kubalas dengan menggerakkan pinggulku, kurasakan batang
kejantananku sudah terasa licin dan hangat oleh cairan yang keluar dari
liang kewanitaannya, bersamaan dengan itu terdengarlah jeritan histeris
Diana yang tidak lama sesudahnya disusul erangan Sinta dan tetesan
cairan kenikmatannya ke wajahku. Tubuh keduanya mengejang di atas
tubuhku selama beberapa saat, kurasakan goyangan Diana mulai melemah
sampai akhirnya berhenti, Sinta turun dari wajahku dan langsung
menjatuhkan diri di sampingku. Kulihat tampang Diana sudah kusut, rambut
panjangnya berantakan sampai menutupi sebagian wajahnya dan tubuhnya
sudah bermandikan keringat, dia jatuh telungkup di atasku, payudaranya
menindih dadaku, empuk dan nikmat sekali rasanya, lebih enak dari
ditindih bantal bulu angsa sekalipun.
Begitu w bahkan Diana, gadis bagaikan gunung es itu sudah tidak perawan
lagi, tapi aku tidak peduli soal itu yang penting kenikmatan yang
kudapat waktu itu sangat hebat, lagipula liang kemaluan mereka masih
sempit karena menurut pengakuan mereka jarang melakukannya karena pacar
mereka tinggal terpisah jadi jarang bertemu. Gara-gara permainan liar
malam itu besok paginya aku tidak ikut kuliah jam 7 karena tubuhku
pegal-pegal terutama bagian pinggang seperti mau copot rasanya,
kumatikan wekerku dan meneruskan tidur sampai jam 10.00 ketika si bandel
Sinta menggedor pintuku, "Wei.. wei.. bangun pemalas, semalam ngapain
aja loe!"